Opini Bebas #2

"Galau" tampaknya bukan hanya tengah melanda anak-anak ABG dan remaja 
negeri ini, tetapi penyakit "galau" rasa-rasanya telah menginfeksi 
negara-bangsa Indonesia. Di masa Pax consortis, dimana republik ini 
cukup berperanan di dalam ekonomi dunia, banyak warga negaranya justru 
tengah dilanda kegelisahan akan masa depan nation-state Indonesia. 
Kekhawatiran akan kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan masih saja 
menghantui setiap individu-individu bangsa Indonesia. Inilah Negara 
Kesatuan Republik Indonesia, sebuah negara-bangsa dengan wilayah yang 
menjembatani dua benua dan dua samudera, serta dengan berbagai masalah 
sosial-budaya-ekonomi-lingkungan yang belum kunjung terselesaikan. 
Seperti yang dituliskan Paulinus Yan olla di dalam rubrik Opini Kompas 
tertanggal 20 Februari 2012, jauhnya jarak antara klaim keberhasilan 
pembangunan ekonomi makro oleh pemerintah dan tetap minimnya 
kesejahteraan masyarakat pada umumnya telah memicu ketidakpuasan 
publik. Tampaknya kondisi inilah yang membuat kehidupan bangsa semakin 
tidak tentu arah, bimbang, bagaimana menyikapi antara "kehebatan" dan 
"keberhasilan" atas kestabilan perekonomian di tingkat atas, dan 
kesemrawutan perekonomian di tingkat bawah. 

Lantas apa yang akan terjadi kemudian?, ketidakpercayaan publik 
terhadap pemerintah, apalagi saat ini kondisi justru diperparah dengan 
sikap mental materialis dan borjuis yang ditunjukkan oleh elite-elite 
politik negeri ini, serta tentu saja korupsi. Inilah tampaknya efek 
samping dari sebuah sistem demokrasi a la barat, siapa "berkesempatan" 
maka dialah yang akan "kaya". Pancasila yang menjadi dasar negara 
masih dan hanya dipahami secara parsial oleh mereka dan juga oleh 
kita, rakyat Indonesia, lantaran belum ada panutan yang bisa dijadikan 
contoh. 

Lantas salahkah sistem yang kita anut tersebut?, karena kita beriklim 
demokrasi, maka dipersilakan untuk berpendapat. Jika menilik 
tahun-tahun awal negara ini berdiri, kontemplasi founding father 
Soekarno mengenai sosiodemokrasi tampaknya dapat menjadikan bangsa ini 
bebas dari dikte negara-negara barat. Tampaknya sosiodemokrasi menjadi 
penengah antara persaingan sistem bernegara waktu itu yang ditawarkan 
oleh negara barat dan yang ditawarkan oleh negara sosialis komunis. 
Secara garis besar, gagasan Bung Karno dalam berdemokrasi yang benar 
adalah demokrasi yang melahirkan kesejahteraan sosial. Ekonomi 
Pancasila dengan pengakuan hak individu sebagai penggerak ekonomi yang 
ditawarkan sistem sosiodemokrasi tampaknya berbeda dengan sistem 
demokrasi a la barat saat ini, dimana manusia dianggap sebagai "mesin" 
pencetak laba, serta sistem sosialis komunis yang mengkebiri hak 
individu. "Memanusiakan manusia", tampaknya begitulah yang ingin 
diwujudkan Bung Karno. Jika ditilik lebih mendalam, memang susah 
penerapan apa yang dinamakan ekonomi pancasila, karena ekonomi dunia 
lebih condong kepada dua kutub yang bersebelahan, antara liberal 
kapitalis dan sosialis komunis. 

Warga negara tampaknya menginginkan suatu kondisi negara-bangsa yang 
mandiri dan berdikari. Tentu masih ada di dalam benak, pidato Bung 
Karno yang berbunyi, "America……… go to hell with your aid", pidato 
tersebut tampaknya merupakan sebuah kepiawaian seorang pemimpin untuk 
berani tidak didikte asing (Amerika) waktu itu, sehingga dengan 
harapan, bangsa yang baru merdeka kala itu tidak merengek-rengek 
meminta bantuan finasial terus-menerus, dan harapannya bangsa ini bisa 
mandiri dan berdikari di masa depan. Sikap seperti Bung Karno yang 
berpikiran ke depan kala itu, juga sejalan dengan sikap presiden 
Phillipines, Manuel Quezon, beliau mengatakan, "lebih baik pergi ke 
neraka tanpa Amerika, daripada pergi ke surga bersama-sama dengan 
dia". 

Pidato Bung Karno tahun 1965 yang berbunyi, " jika rakyat dan para 
pemimpinnya bersungguh-sungguh mengembangkan daya kreasinya, pastilah 
kita tidak akan kekurangan barang keperluan, pastilah kita tidak perlu 
impor barang-barang keperluan sehari-hari, bahkan kita akan dapat 
mengekspor barang-barang keperluan itu, hingga terlaksanalah prinsip 
'berdiri di kaki sendiri' dalam ekonomi". Namun, yang terjadi saat ini 
tampaknya kebalikan dari apa yang diucapkan Bung Karno empat puluh 
tujuh tahun yang lalu. Selain berkonsep berdikari dan mandiri, 
jauh-jauh hari Bung Karno sudah merenungkan bahwa negara ini 
memerlukan suatu toleransi sosial, kebersamaan dalam kesejahteraan, 
menguasai sumberdaya strategis, mengakui potensi lokal, serta berperan 
aktif dalam pembangunan untuk menuju Indonesia yang tangguh. Namun, 
saat ini, konsep dan gagasan founding father kita rasa-rasanya 
dianggap sebagai sesuatu yang sudah usang dan tidak sejalan dengan era 
reformasi dan globalisasi. Yang terjadi saat ini adalah ketimpangan 
dan ketidakseimbangan yang kemudian akan menyebabkan negara-bangsa 
Indonesia menjadi goyah dan keropos. Wallahu'alam Bishowab. 


Ditullis dan dipost pertama pada 18 Juli 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sekilas Kondisi Burung Liar di Indonesia

Opini Bebas #1

Pindahan Lagi, Lagi-Lagi Pindahan