Opini Bebas #3

Negara hijau-biru, sebuah nama yang sepertinya patut disematkan di 
pundak negara Indonesia, di masa lalu. Mengapa hijau dan biru?, 
lantaran peta dari foto satelit biasanya menggambarkan warna hijau dan 
biru untuk gugusan kepulauan NKRI. Hijau menandakan vegetasi hutan dan 
biru menandakan wilayah perairan. Namun, muncul keraguan saat ini, 
lantaran foto satelit untuk wilayah Indonesia memperlihatkan alopesia 
berwarna coklat, abu-abu, dan kekuningan diantara warna hijau. Bahkan 
tampaknya di waktu sekarang ini, alopesia tersebut bertambah meluas 
dan dikhawatirkan beberapa tahun ke depan, hijau dan biru akan 
digantikan oleh warna coklat dan abu-abu. Lantas apa artinya?, 
kegersangan akan melanda negeri ini. 

Warna-warna tersebut hanyalah ibarat, fakta di lapangan, negara 
Indonesia telah mengalami kehilangan vegetasi hutan tropis yang sangat 
besar, baik kualitas dan kuantitasnya, menurut data, hutan kita hilang 
sebesar 3 hektar permenitnya. Bahkan mungkin, hutan tropis yang 
tersisa saat ini sebenarnya sudah tidak sanggup lagi menanggung beban 
berat untuk menopang kehidupannya sendiri. Terlalu berat memang jika 
alam raya Indonesia yang semakin ringkih diabaikan begitu saja. 
Negara-bangsa Indonesia hidup di atas keanekaragaman hayatinya, jadi 
salah besar jika sekarang ini manusia-manusia Indonesia mengabaikan 
kelestarian hayatinya. Pengabaian secara terprogram, rasa-rasanya 
telah dan tengah dijalankan oleh kalangan-kalangan tertentu supaya 
keanekaragaman hayati tersebut menjadi terlupakan dan tergantikan oleh 
keseragaman yang mungkin lebih menghasilkan "uang". Contoh mudahnya, 
betapa mudahnya perusahaan-perusahaan asing yang tidak berwawasan 
lingkungan beroperasi di suatu kawasan yang notabene mempunyai nilai 
keanekaragaman hayati yang tinggi. 

Pemerintah dan elite-elite pejabat di atas sana cenderung menutup 
mata, mulut, dan hati akan masalah lingkungan hidup dan keanekaragaman 
hayati yang tengah terjadi sampai detik ini, bahkan mungkin mereka 
telah menutup hatinya akan kondisi ini. Degradasi dan kerusakan 
keanekaragaman hayati pun semakin menjadi-jadi, tampaknya tidak 
terlihat upaya serius mengatasi ini. Inilah ketidakadilan pemerintah 
terhadap lingkungan hidup. Apabila upaya "penghilangan" vegetasi hutan 
terjadi terus menerus di negeri ini dan planet bumi ini, maka 
kemungkinan sekitar 5 – 10 % spesies yang ada di dunia akan punah 
setiap sepuluh tahun sampai 30 tahun mendatang. 

Jika di masa lalu kita berbangga bahwa negara Indonesia adalah negara 
dengan keanekaragaman hayati terbaik, seperti dalam lirik lagunya Koes 
Plus, dimana "tongkat kayu dan batu jadi tanaman". Maka saat ini 
tampaknya kita sering melihat kebalikannya, "tanaman jadi tongkat 
kayu". Saat ini pemerintah lebih berbangga akan megaproyek ekonomi 
yang berlandaskan pada ekonomi liberal kapitalis yang agaknya 
memandang alam raya sebagai bahan baku belaka untuk diolah menjadi 
uang. "Ketidak sabaran", mungkin itu yang bisa terucap dari mulut 
ketika melihat tingkah polah para pembuat kebijakan di atas sana, 
lantaran menginginkan terjadi percepatan aliran uang ke kas negara, 
dan juga ke kas pribadinya masing-masing dalam waktu singkat atau 
jangka pendek. Padahal jika ditelisik lebih mendalam, bukankah 
melestarikan keanekaragaman hayati atau pembangunan ekonomi yang 
berwawasan lingkungan hidup-keanekaragaman hayati justru menghasilkan 
keuntungan yang begitu besar dalam jangka waktu panjang?, entahlah. 
Kelestarian lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati merupakan 
kekayaan suatu bangsa yang tidak ternilai harganya dan memberikan 
kontribusi yang baik langsung maupun tidak langsung terhadap 
kesejahteraan masyarakat. Saat ini, adanya suara-suara untuk 
menerapkan green economy diharapkan dapat memperbaiki kualitas dan 
kuantitas lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati Indonesia, 
sehingga negara ini tetap menjadi negara hijau-biru. 

Selain itu, adanya komitmen bersama untuk menegakkan UU No. 32 Tahun 
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup beserta UU 
No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan 
Ekosistemnya diharapkan dapat mengurangi kerusakan kualitas dan 
kuantitas lingkungan hidup dan keanekargaman hayati Indonesia. Kita 
juga harus ingat bahwa lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati yang 
dimiliki negara-bangsa ini bukanlah warisan nenek moyang untuk 
generasi sekarang, melainkan titipan yang harus dan wajib kita 
sampaikan ke generasi berikutnya. Sesungguhnya keanekaragaman hayati 
merupakan unsur terpenting negara-bangsa ini dalam menapaki pergaulan 
internasional di jaman globalisasi, karena keanekaragaman hayatilah, 
Indonesia dikenal dunia internasional, dan keanekaragaman hayatilah 
yang membuat Indonesia menjadi rumah yang nyaman bagi ratusan suku 
yang kemudian menamakan diri sebagai bangsa Indonesia. Tanpa 
keanekaragaman hayati, maka Indonesia akan limbung. Seperti yang 
dikatakan oleh seorang naturalis Henry David Thoreau, bahwa "apa 
gunanya rumah, jika anda tidak mempunyai sebuah planet untuk 
meletakkannya". Serta jangan sampai kita baru menyadari pentingnya 
kelestarian lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati setelah bencana 
memporak-porandakan negara kita dan bumi kita, seperti pepatah Indian 
yang mengatakan bahwa "hanya bila pohon terakhir telah tumbang 
ditebang, hanya bila tetes air sungai terakhir telah tercemar, hanya 
bila ikan terakhir telah ditangkap, maka barulah kita sadar bahwa uang 
di tangan tidak dapat dimakan". Wallahualam bishowab. 

Ditulis dan dipost pertama pada 19 Juli 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sekilas Kondisi Burung Liar di Indonesia

Opini Bebas #1

Pindahan Lagi, Lagi-Lagi Pindahan