Opini Bebas #5

Marhaban Ya Ramadhan, begitulah yang bisa terucap kala memasuki bulan 
suci Ramadhan. Bulan yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam untuk 
meningkatkan kesadaran secara vertikal dan horizontal, dan bulan 
kontemplasi untuk sebuah hidup yang berkualitas. Namun, bagi 
kebanyakan masyarakat, Ramadhan justru disikapi dengan cara hidup 
konsumerisme dan hedonisme. Betapa tidak, di bulan Ramadhan ini, 
masyarakat kebanyakan justru menghambur memenuhi pusat-pusat 
perbelanjaan untuk berburu kebutuhan perut, tidak tanggung-tanggung 
mungkin, jika di bulan selain Ramadhan, mereka hanya membelanjakan 
uangnya sekian ribu, maka di bulan Ramadhan ini bisa berkali-kali 
lipat. Seperti ajang balas dendam setelah seharian perut kosong. 
Lantas bagaimana dengan kesederhanaan dan kesahajaan yang diajarkan 
oleh sekolah yang bernama Ramadhan ini? 

Rasa-rasanya inilah budaya modern umat manusia, budaya konsumerisme 
dan hedonisme yang entah diajarkan oleh siapa. Entah mengakar sendiri 
ataukah budaya ikut-ikutan. Entah, tetapi kondisi seperti ini 
tampaknya tenda-tanda terjadinya benturan kebudayaan (shock culture) 
di masyarakat Indonesia. Apatah konsumerisme ini sejalan dengan teori 
Abraham Maslow, tentang hirarki kebutuhan, yakni kebutuhan aktualisasi 
diri?, entahlah. Konsumerisme dan hedonisme di bulan Ramadhan hanya 
akan menurunkan nilai ibadah dan nilai sosial yang diajarkan bulan 
suci ini. 

Konsumerisme merupakan upaya yang berlebih-lebihan, atau dengan kata 
lain pemborosan. Lantas, mengapa pemborosan atau apapun namanya kerap 
muncul setiap bulan Ramadhan?, mungkin lantaran amalan agama hanya 
sebatas formalitas belaka, atau yang lebih parah, ibadah hanyalah 
ikut-ikutan dan pencitraan belaka. Seperti yang ditulis oleh Ketua 
Umum PBNU, Said Aqil Siradj dalam Opini Kompas tanggal 20 Juli 2012, 
puasa Ramadhan masih terpampang sebatas simbol ibadah yang belum 
memberikan nilai transformatif kepada masyarakat. Puasa Ramadhan hanya 
sekedar rutinitas dan tren unjuk beragama. 

Puasa merupakan ibadah yang tidak perlu dipamer-pamerkan. Namun, 
budaya saat ini, mengarahkan untuk memamerkan bahwa seseorang 
berpuasa, salah satunya melalui konsumerisme dan hedonisme. 
Konsumerisme mungkin bisa dikatakan bersumber dari individu 
masing-masing manusia. Seharusnya setiap individu muslim berkomitmen 
di dalam satu bulan ini, bahwa bulan ini adalah bulan "pemusatan 
latihan" ibadah, pengendalian diri, kontemplasi, dan sosial. Alangkah 
baiknya jika terjadi aliran materi ke arah umat yang membutuhkan, 
sebuah tabungan akhirat. Wallahu A'lam Bishshowab. 


Ditulis dan dipost pertama pada 21/7/2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sekilas Kondisi Burung Liar di Indonesia

Opini Bebas #1

Pindahan Lagi, Lagi-Lagi Pindahan